ANALISIS PERKEBUNAN SAWIT TEERHADAP PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN
ANALISIS PERKEBUNAN SAWIT TEERHADAP PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN
1.
Latar Belakang
Menurut Undang-Undang No 41
tentang kehutanan Tahun 1999, hutan
didefinisikan sebagai suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi
sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam
lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan, sedangkan
kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap.
Hutan mempunyai fungsi ekologi yang sangat penting antara lain, hidrorologi,
penyimpan sumberdaya genetik, pengatur kesuburan tanah hutan dan iklim serta
penyimpan stok karbon serta sebagai sumber keanekaragaman hayati. Namun karena
adanya pertumbuhan penduduk dan kebutuhan untuk peningkatan ekonomi, hutan saat
ini sudah banyak mengalami penurunan jumlah luasan maupun kualitas hutan.
Degradasi hutan tersebut disebabkan oleh berbagai faktor, salah satunya adalah adanya
alih fungsi lahan hutan menjadi perkebunan kelapa sawit. Tingginya permintaan
akan minyak nabati dunia membuat potensi perkebunan kelapa sawit banyak dilirik
oleh pengusaha-pengusaha di Indonesia.
Departemen Pertanian, menganggap tanaman perkebunan sebagai salah
satu cara untuk mendapatkan devisa dan juga sebagai pendorong pembangunan. Pada
pemerintahan orde baru tanaman perkebunan menjadi prioritas utama dalam
pembangunan ekonomi nasional melalui program PIR (perkebunan inti rakyat) bersamaan
dengan program transmigrasi. Tanaman perkebunan berkembang dari 597.362 ha pada
tahun 1985 menjadi 5,6 juta ha pada tahun 2005. (Murniati et al, 2008).
Konversi lahan hutan menjadi perkebunan sawit pun seakan menjadi
trend baru saat ini. Sekitar 60% lahan yang ada di Kalimantan Barat kini telah
beralih fungsi menjadi perkebunansawit. Secara teknis, kelapa sawit cocok untuk
daerah Kalbar, karena tidak mempersyaratkan kesuburan
tanah. Hampir sepertiga luas wilayah Kalbar sudah dikonversi menjadi
wilayah perkebunan sawit. Hasil-hasil dari perkebunan ini memberikan kontribusi
terhadap pembangunan di daerah Kalimantan Barat dan merupakan salah satu mata
pencaharian masyarakat di Kalbar. Selain bagi masyarakat, perusahaan
pengelolanya juga dapat menghasilkan keuntungan dengan menjual hasil perkebunan
baik melalui pasar domestik maupun pasar global.
2.
Permasalahan
Pemberian izin perkebunan kelapa sawit di Indonesia semakin
meningkat termasuk di Kalimantan Barat. Pada daerah tersebut terjadi
peningkatan begitu pesat dalam kurun waktu 2006-2014. Pada tahun 2006, luas
izin perkebunan kelapa sawit seluas 407,083 hektar. Namun pada tahun 2014
perkembangan izin perkebunan kelapa sawit bahkan melonjak tajam menjadi
4.513.700,60 hektar atau 180,44 persen. Berdasarkan data Dinas Perkebunan Provinsi Kalimantan Barat tahun
2014 menyebutkan bahwa perkembangan perizinan perusahaan perkebunan besar di
Kalimantan Barat mencapai luas 4.513.700,60 hektar atau 180,44 persen. Alih
fungsi konversi hutan dilakukan demi percepatan pembangunan industri minyak
sawit di dalam negeri. Hutan lindung dan kawasan konservasi juga terancam akan
terdeforestasi dan terdegradasi.
Hal yang paling dikritisi
adalah pembukaan lahan hutan menjadi perkebunan skala besar. Misalnya
saja, target untuk luasan pembukaan perkebunan kelapa sawit yaitu 1,5 juta Ha.
Kebun yang sudah ditanam dan telah dikelola mencapai 900 ribu hektar. Tetapi
faktanya proses perizinan kini sudah mencapai 4,8- 4,9 juta Ha. Luas perkebunan
yang masih dalam proses perizinan yang jauh lebih luas dari target itu akan
kembali merusak hutan di Kalbar. Target yang 1,5 juta hektar itu sebenarnya
prioritas untuk lahan kritis dan tidak produktif. Tetapi jika izin nanti
melebihi target, bisa dipastikan jika yang diambil itu bukan hanya lahan kritis
sehingga wilayah yang dikelola
masyarakat menjadi semakin sempit yang berdampak pada kesenjangan ekonomi yang
semakin tinggi.
Keberadaan perkebunan kelapa sawit skala besar seperti sekarang
ini, mengancam Kalimantan Barat sebagai satu kesatuan ekologis. Perkebunan
kelapa sawit merusak keseimbangan alam dan lingkungan, seperti akar dari kelapa
sawit sangat sulit untuk dibersihkan walaupun pohon sawit tersebut telah mati,
namun dibutuhkan waktu bertahun-tahun agar akar dan tanah yang telah ditanami
kelapa sawit dapat digunakan lagi. Selain itu tanah bekas perkebunan kelapa
sawit akan menjadi gersang karena unsur-unsur hara yang ada di dalam tanah
telah habis. Tidak hanya itu, pembukaan lahan perkebunan kelapa sawit kerap
menimbulkan pencemaran diakibatkan asap hasil dari pembukaan lahan dengan cara
pembakaran dan pembuangan limbah,
merupakan cara-cara perkebunan yang meracuni makhluk hidup dalam jangka waktu
yang lama. Dampak yang paling dirasakan masyarakat saat ini yakni adanya
perubahan sistem hidrologi DAS Kapuas. Pada musim kemarau umumnya terjadi
kekeringan yang sangat panjang sehingga masyarakat kesulitan untuk mendapatkan
air, sedangkan pada musim hujan terjadi banjir. Banjir di musim hujan dan
kekeringan di musim kemarau adalah indikator utama kerusakan DAS yang sangat
jelas.
Permasalahan mendasar yang mengakibatkan kelemahan tersebut antara
lain; orientasi yang terlalu bertumpu pada paradigma pertumbuhan ekonomi dan
menitikberatkan pada produksi primer, kebijakan alokasi sumber daya yang tidak
adil, sistem pengelolaan yang tidak memenuhi kaidah kelestarian, KKN, lemahnya
penegakan hukum dan pengawasan, koordinasi antar sektor yang belum berjalan.
Pembangunan Kehutanan yang berkelanjutan dan berkeadilan tidak mungkin
tercapai, apabila paradigma lama masih dijadikan acuan. Oleh karena itu
diperlukan perubahan paradigma secara mendasar. Berdasarkan uraian di atas,
maka perlu adanya kajian mengenai pengelolaan hutan secara berkelanjutan dimana
dalam pengelolaan tersebut, tidak hanya memperhatikan aspek ekonomi saja, namun
juga memperhatikan aspek sosial dan ekologi.
3.
Landasan Teori
Pembangunan yang sekarang sedang marak adalah pembangunan yang hanya bersifat
sementara. Dengan tuntutan globalisasi, Indonesia mengikuti perkembangan jaman
tanpa melihat prospek kedepan. Perkembangan masyarakat yang serba instan dan
asal jadi, budaya konsumtif telah mendarah daging pada sebagian besar
masyarakat Indonesia. Sedang sebenarnya, hakikat pembangunan adalah pembangunan
yang berkelanjutan yang tidak parsial, instan dan pembangunan kulit. Maka, dengan
adanya konsep Sustainable Development yang kemudian disebut SD akan berusaha
memberikan wacana baru mengenai pentingnya melestarikan lingkungan alam demi
masa depan, generasi yang akan datang. “Pembangunan yang memenuhi kebutuhan
sekarang tanpa mengkompromikan kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi
kebutuhan mereka sendiri.”
Pembangunan berkelanjutan adalah suatu proses pembangunan yang
mengoptimalkan manfaat dari sumber daya alam, sumber daya manusia, dengan
menyerasikan sumber alam dengan pembangunan. Sedangkan pelestarian SDA adalah
sebuah usaha sadar yang dilakukan manusia untuk menjaga dan melindungi hasil
alam agar tidak habis. Menurut Salim (1992) pembangunan berkelanjutan atau
suistainable development adalah suatu proses pembangunan yang mengoptimalkan
manfaat dari sumber daya alam sumber daya manusia, dengan menyerasikan sumber
alam dengan manusia dalam pembangunan.
Deklarasi Universal Keberagaman Budaya (UNESCO, 2001) lebih jauh
menggali konsep pembangunan berkelanjutan dengan menyebutkan bahwa “keragaman
budaya penting bagi manusia sebagaimana pentingnya keragaman hayati bagi alam”.
Dengan demikian “pembangunan tidak hanya dipahami sebagai pembangunan ekonomi,
namun juga sebagai alat untuk mencapai kepuasan intelektual, emosional, moral,
dan spiritual”. Dalam pandangan ini, keragaman “pertumbuhan ekonomi” itu
sendiri bermasalah, karena sumberdaya bumi itu sendiri terbatas.
Budimanta (2005) menyatakan bahwa pembangunan berkelanjutan adalah
suatu cara pandang mengenai kegiatan yang dilakukan secara sistematis dan
terencana dalam kerangka peningkatan kesejahteraan, kualitas kehidupan dan
lingkungan umat manusia tanpa mengurangi akses dan kesempatan kepada generasi
yang akan datang untuk menikmati dan memanfaatkannya. Dalam proses pembangunan
berkelanjutan terdapat proses perubahan yang terencana, yang didalamnya
terdapat eksploitasi sumberdaya, arah investasi orientasi pengembangan
teknologi, dan perubahan kelembagaan yang kesemuanya ini dalam keadaan yang
selaras, serta meningkatkan potensi masa kini dan masa depan untuk memenuhi
kebutuhan dan aspirasi masyarakat.
Pembangunan berkelanjutan dirumuskan sebagai pembangunan yang
memenuhi kebutuhan masa kini tanpa mengorbankan hak pemenuhan kebutuhan
generasi mendatang. Pembangunan berkelanjutan mengandung makna jaminan mutu
kehidupan manusia dan tidak melampaui kemampuan ekosistem untuk mendukungnya.
Dengan demikian pengertian pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan untuk
memenuhi kebutuhan-kebutuhan pada saat ini tanpa mengurangi kemampuan generasi
yang akan datang dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka (Sudarmadji : 2008).
Tujuan akhir setiap usaha pembangunan ialah memperlakukan manusia,
lakilaki, perempuan, anak-anak sebagai tujuan, untuk memperbaiki kondisi
manusia dan memperbesar pilihan manusia. Salah satu yang menjadi bagian dari
pembangunan berkelanjutan adalah dimensi manusia atau bisa juga disebut dengan
‘pembangunan manusia’. Ada empat komponen utama dalam paradigma pembangunan
manusia, yaitu pemerataan atau kesetaraan (equity), berkelanjutan,
produktivitas dan pemberdayaan. (Firdaus : 1998).
2.1 Prinsip-prinsip Pembangunan Berkelanjutan
Memang diakui bahwa konsep keberlanjutan merupakan konsep yang
sederhana namun kompleks, sehingga pengertian keberlajutanpun sangat multidimensi
dan multi-interpretasi. Menurut Heal dalam (Fauzi, 2004) Konsep keberlanjutan
ini paling tidak mengandung dua dimensi : Pertama adalah dimensi waktu karena
keberlanjutan tidak lain menyangkut apa yang akan terjadi dimasa yang akan
datang. Kedua adalah dimensi interaksi antara sistem ekonomi dan sistem sumber
daya alam dan lingkungan. Pezzey (1992) dalam Fauzi, 2004 melihat aspek
keberlajutan dari sisi yang berbeda. Keberlanjutan dari sisi statik diartikan
sebagai pemanfaatan sumber daya alam terbarukan dengan laju teknologi yang
konstan, sementara keberlanjutan dari sisi dinamik diartikan sebagai
pemanfaatan sumber daya alam yang tidak terbarukan dengan tingkat teknologi
yang terus berubah. Karena adanya multidimensi dan multiinterpretasi ini, maka
para ahli sepakat untuk sementara mengadopsi pengertian yang telah disepakati
oleh komisi Brundtland yang menyatakan bahwa “pembangunan berkelanjutan adalah
pembangunan yang memenuhi kebutuhan generasi saat ini tanpa mengurangi
kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka.”
Perman (1997) dalam Fauzi 2004 mencoba mengelaborasikan lebih
lanjut konsep keberlanjutan ini dengan mengajukan lima alternatif pengertian:
(1). Suatu kondisi dikatakan berkelanjutan (sustainable) jika utilitas yang
diperoleh masyarakat tidak berkurang sepanjang waktu dan konsumsi tidak menurun
sepanjang waktu (nondeclining consumption), (2) keberlanjutan adalah kondisi
dimana sumber daya alam dikelola sedemikian rupa untuk memelihara kesempatan
produksi dimasa mendatang, (3) keberlanjutan adalah kondisi dimana sumber daya
alam (natural capital stock) tidak berkurang sepanjang waktu (non- declining),
(4) keberlanjutan adalah kondisi dimana sumber daya alam dikelola untuk
mempertahankan produksi jasa sumber daya alam, dan (5) keberlanjutan adalah
adanya kondisi
2.2 Landasan Hukum Pembangunan Berkelanjutan di Indonesia
Pada tahun 1998 dibentuk Menteri Negara Pengawasan Pembangunan dan
Lingkungan Hidup (PPLH) yang kemudian pada tahun 2002 di ubah menjadi Menteri
Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup (KLH) yang kemudian pada 2003 dirubah
menjadi Menteri Negara Lingkungan Hidup (LH). Kelembagaan ini mempunyai peranan
penting dalam memberi landasan lingkungan bagi pelaksanaan pembangunan di
negara kita. Pada tahun 1982 telah di Undangkan Undang-Undang No. 14 Tahun 1982
(LN 1982 No. 12) tentang ketentuan-ketentuan pokok Pengelolaan Lingkungan hidup
secara terpadu dengan mengamanatkan keharusan untuk mengkaitkan pelaksanaan
pembangunan dengan pengelolaan lingkungan hidup melalui apa yang dinamakan “pembangunan
berwawasan lingkungan”. Ketentuan tersebut selain menggunakan istilah “pembangunan
berwawasan lingkungan” juga menggunakan istilah “pembangunan
berkesinabungan” istilah yang disebutkan terakhir dapat juga dijadikan pedoman
istilah “sustainable development” karena kata “berkesinabungan” dan
“berkelanjutan “ dalam bahasa Indonesia mempunyai makna yang sama.
4.
Pembahasan
Pembangunan kehutanan sebagai salah satu bagian dari pembangunan
nasional diarahkan untuk memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi
kemakmuran rakyat dengan tetap menjaga pelestarian fungsi hutan dengan
mengutamakan pelestarian sumber daya alam dan fungsi lingkungan hidup,
memulihkan tata air, memperluas kesempatan berusaha dan lapangan kerja serta
meningkatkan sumber pendapatan dan devisa negara untuk memacu pembangunan
daerah. Masyarakat adalah pelaku utama pembangunan dan pemerintahan
berkewajiban untuk mengarahkan, membimbing dan menciptakan suasana yang menunjang, dengan kata lain keberhasilan
pembangunan sangat tergantung dari tingkat partisipasi masyarakat. Salah satu
ukuran keberhasilan pembangunan adalah seberapa jauh pemerintah mampu menumbuhkan,
menggerakkan dan memelihara dan mengembangkan masyarakat dalam pembangunan.
Namun saat ini demi percepatan pertumbuhan ekonomi, banyak izi
pemberian alih fungsi lahan hutan, salah satunya adalah alih fungsi lahan hutan
menjadi perkebunan sawit. Alih fungsi lahan menjadi perkebunan sawit memang
memberikan beberapa keuntungan. Komoditas tersebut memegang peran yang cukup
strategis di Indonesia karena komoditas ini mempunyai prospek yang cukup cerah
sebagai sumber devisa. Disamping itu minyak sawit merupakan bahan baku utama
minyak goreng yang banyak dipakai diseluruh dunia, sehingga secara terus
menerus mampu menjaga stabilitas harga minyak sawit. Komoditas ini mampu pula
menciptakan kesempatan kerja yang luas dan meningkatkan kesejahteraan Masyarakat.
Namun kerugian akibat perubahan lahan
hutan yang tak terkendali justru menimbulkan dampak yang sangat besar bagi
lingkungan maupun konflik sosial.
Aspek ekologi
Kelapa sawit merupakan tumbuhan monokotil (berakar serabut)
sehingga air hujan yang melimpah tidak terserap ke dalam tanah dan hanya
mengalir di daratan menuju aliran sungai, air yang mengalir tersebut akan
membawa zat hara dan mengendap di dasar sungai. Akibatnya, tanah akan menjadi
gersang dan sungai akan semakin dangkal. Dan bila musim kemarau, kelapa sawit
akan menyerap cadangan air bawah tanah dengan jumlah yang besar untuk memenuhi
kebutuhannya agar bisa bertahan hidup dan berbuah. Berbeda halnya dengan
tumbuhan dikotil (berakar tunggal), tumbuhan ini akan menyerap air hujan ke
dalam tanah dan menyimpannya diruang-ruang bawah tanah di dekat akar
tunggalnya, dan bila musim kemarau tumbuhan dikotil akan melepaskan cadangan
airnya sehingga sungai dan sumur-sumur yang ada disekitarnya tidak akan
kekeringan.
Aspek Sosial
Konflik sosial, termasuk sengketa hak tanah dan sumberdayanya
sering disebabkan oleh ekspansi lahan perkebunan. Ada lebih dari 500 kasus konflik sosial di
sektor perkebunan kelapa sawit Indonesia, terutama soal hak atas tanah,
sengketa tenaga kerja, ketidakharmonisan kemitraan perusahaan dengan komunitas,
kriminalisasi penduduk desa, dan skandal politik tingkat tinggi termasuk
penerbitan izin ilegal untuk konversi hutan alam untuk perkebunan kelapa sawit dan
areal perkebunan di kawasan hutan yang dilindungi dan taman-taman nasional.
Kebutuhan terhadap Pembangunan Berkelanjutan
Pembangunan perkebunan kelapa sawit perlu disikapi secara bijak. Berbagai
dampak baik ekologi maupun sosial akibat perkebunan sawit tersebut dapat
membentuk pengetahuan dan pengalaman masyarakat yang akan membangkitkan
kesadaran bersama bahwa mereka adalah kelompok yang termaginalisasi dari suatu
proses pembangunan atau kelompok yang disingkirkan dari akses politik, sehingga
menimbulkan respon dari masyarakat yang dapat dianggap mengganggu jalannya
proses pembangunan.
Selain itu, karena berbagai dampak ekologis yang begitu terlihat akibat
pertumbuhan perkebunan sawit yang tidak terkendali juga menyebabkan masyarakat
semakin sadar akan pentingnya hutan. Untuk itu, pertumbuhan ekonomi berbasis
kehutanan dirasa tepat untuk menjawab permasalahan-permasalahan ekologi saat
ini sekaligus meningkatkan pertumbuhan ekonomi masyarakat.
Pembangunan yang selama ini lebih menitikberatkan pada peningkatan
ekonomi tanpa memperdulikan aspek sosial dan ekologi. Banyak pejabat daerah
yang tanpa pikir panjang memberikan izin pemanfaatan hutan sebagai kawasan
perkebunan kelapa sawit. Hal tersebut tentunya sangat bertentangan dengan
konsep pembangunan berkelanjutan. Perkebunan sawit seharusnya hanya diberikan
izin pada kawasan yang tidak produktif dan tidak mengganggu kawasan konservasi.
Perlu adanya kajian mendalam mengenai rencana pengelolaan kawasan suatu daerah
sehingga tingkat kerusakan akibat perkebunan sawit dapat di imbangi dengan
peningkatan rehabilitasi hutan-hutan yang rusak akibat adanya illegal
logging, over harvesting pada hutan alam serta pertambangan.
Dalam pembangunan berkelanjutan penduduk atau masyarakat
merupakan bagian penting atau titik sentral dalam pembangunan berkelanjutan,
karena peran penduduk sejatinya adalah sebagai subjek dan objek dari
pembangunan berkelanjutan. Jumlah penduduk yang besar dengan pertumbuhan yang
cepat, namun memiliki kualitas yang rendah, akan memperlambat tercapainya
kondisi yang ideal antara kuantitas dan
kualitas penduduk dengan daya dukung alam dan daya tampung lingkungan yang
semakin terbatas. Untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan di suatu negara,
diperlukan komponen penduduk yang berkualitas. Karena dari penduduk
berkualitas itulah memungkinkan untuk bisa mengolah dan mengelola potensi
sumber daya alam dengan baik, tepat, efisien, dan maksimal, dengan tetap
menjaga kelestarian lingkungan. Sehingga harapannya terjadi keseimbangan dan
keserasian antara jumlah penduduk dengan kapasitas dari daya dukung alam dan
daya tampung lingkungan.
Pembangunan yang berkelanjutan diawali suatu komitmen dan
konsistensi dari berbagai pemangku kepentingan dalam menggunakan dan menjaga
keberlanjutan sumber daya alam yang digunakan untuk keberlangsungan hidup saat
ini dan untuk generasi yang akan datang. Untuk menjaga keberlangsungan jalannya
pembangunan berkelanjutan, maka Pemerintah Kota Blitar menggunakan manajemen
pembangunan berkelanjutan yang dijadikan sebagai pegangan untuk pelaksanaannya.
Manajemen ini mengedepankan perencanaan cermat yang melihat kebutuhan saat ini
dan yang akan datang, dan dilaksanakan secara efektif, efisien, konsisten
sebagaimana yang telah ditetapkan, serta dilakukan evaluasi secara berkala dan
insidental berdasarkan indikator sasaran dan batas waktu yang telah ditentukan.
Pembangunan berkelanjutan harus dilihat dalam perspektif jangka
panjang. Hingga saat ini yang banyak mendominasi pemikiran para pengambil keputusan
dalam pembangunan adalah kerangka pikir jangka pendek, yang ingin cepat
mendapatkan hasil dari proses pembangunan yang dilaksanakan. Kondisi ini sering
kali membuat keputusan yang tidak memperhitungkan akibat dan implikasi pada jangka
panjang, seperti misalnya potensi kerusakan hutan yang telah mencapai 3,5 juta
Ha/tahun, banjir yang semakin sering melanda dan dampaknya yang semakin luas.
Pemerintah dalam perumusan kebijakan pengelolaan sumber daya alam
harus dioptimalkan karena sumber daya alam sangat penting peranannya terutama
dalam rangka meningkatkan pendapatan negara melalui mekanisme pajak, restribusi
dan bagi hasil yang jelas dan adil serta perlindungan dari bencana ekologis.
Sejalan dengan otonomi daerah pendayagunaan secara bertahap wewenang pemerintah
pusat kepada pemerintah daerah dalam pengelolaan sumber daya alam dimaksud
untuk meningkatkan peranan masyarakat lokal dan tetap terjaganya fungsi
lingkungan.
5.
Kesimpulan
Kegiatan pembangunan perkebunan kelapa sawit memang menberikan
kontribusi yang besar terhadap pertumbuhan ekonomi terutama terhadap pendapatan
daerah. Namun tanpa disadari, pemberian izin yang tidak memperhatikan aspek
lingkungan akan menimbulkan dampak besar terutama dari segi hidrologis. Dampak
hidrologis yang paling terasa di Kalimantan Barat yakni adanya indikator
kerusakan DAS. Indikator tersebut berupa bencana banjir pada musim penghujan
serta kekeringan pada musim kemarau. Selain dampak ekologi, timbulnya konflik
sosial juga sering terjadi. Konflik sosial terjadi akibat masyarakat yang
terkena dampak hidrologis akibat adanya perkebunan sawit serta masyarakat yang
merasa termarginalkan akibat pembanguan perkebunan tersebut.
Pembangunan berkelanjutan diperlukan untuk mengatasi berbagai
masalah yang terjadi akibat ppembangunan perkebunan kelapa sawit saat ini.
Sehingga pembangunan tidak hanya menitikberatkan pada aspek ekonomi saja,
tetapi diharapkan dapat memperhatikan aspek sosial ekonominya juga.
DAFTAR PUSTAKA
Budimanta, A,
2005, Memberlanjutkan Pembangunan di Perkotaan melalui Pembangunan
Berkelanjutan dalam Bunga Rampai Pembangunan Kota Indonesia dalam Abad 21.
Fauzi. A. 2004.
Ekonomi Sumber Daya Alam dan Lingkungan, Teori dan Aplikasi. Jakarta. Gramedia
Pustaka Utama.
Firdausy
Carunia Mulya. 1998. Dimensi Manusia Dalam Pembanguna Berkelanjutan. Jakarta.
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.
Murniati,
Nawir, Rumboko. 2008. Rehabilitasi Hutan Indonesia. CIFOR. Bogor.
Sudarmadji.
2008.Jurnal Pembangunan Berkelanjutan. Lingkungan Hidup dan Otonomi Daerah.
Komentar
Posting Komentar