ANALISIS PERKEBUNAN SAWIT TEERHADAP PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN

ANALISIS PERKEBUNAN SAWIT TEERHADAP PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN

1.    Latar Belakang
Menurut Undang-Undang  No 41 tentang  kehutanan Tahun 1999, hutan didefinisikan sebagai suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan, sedangkan kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan  atau ditetapkan oleh pemerintah untuk  dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap. Hutan mempunyai fungsi ekologi yang sangat penting antara lain, hidrorologi, penyimpan sumberdaya genetik, pengatur kesuburan tanah hutan dan iklim serta penyimpan stok karbon serta sebagai sumber keanekaragaman hayati. Namun karena adanya pertumbuhan penduduk dan kebutuhan untuk peningkatan ekonomi, hutan saat ini sudah banyak mengalami penurunan jumlah luasan maupun kualitas hutan. Degradasi hutan tersebut disebabkan oleh berbagai faktor, salah satunya adalah adanya alih fungsi lahan hutan menjadi perkebunan kelapa sawit. Tingginya permintaan akan minyak nabati dunia membuat potensi perkebunan kelapa sawit banyak dilirik oleh pengusaha-pengusaha di Indonesia.  
Departemen Pertanian, menganggap tanaman perkebunan sebagai salah satu cara untuk mendapatkan devisa dan juga sebagai pendorong pembangunan. Pada pemerintahan orde baru tanaman perkebunan menjadi prioritas utama dalam pembangunan ekonomi nasional melalui program PIR (perkebunan inti rakyat) bersamaan dengan program transmigrasi. Tanaman perkebunan berkembang dari 597.362 ha pada tahun 1985 menjadi 5,6 juta ha pada tahun 2005. (Murniati et al, 2008).
Konversi lahan hutan menjadi perkebunan sawit pun seakan menjadi trend baru saat ini. Sekitar 60% lahan yang ada di Kalimantan Barat kini telah beralih fungsi menjadi perkebunansawit. Secara teknis, kelapa sawit cocok untuk daerah Kalbar, karena tidak mempersyaratkan kesuburan tanah. Hampir sepertiga  luas wilayah Kalbar sudah dikonversi menjadi wilayah perkebunan sawit. Hasil-hasil dari perkebunan ini memberikan kontribusi terhadap pembangunan di daerah Kalimantan Barat dan merupakan salah satu mata pencaharian masyarakat di Kalbar. Selain bagi masyarakat, perusahaan pengelolanya juga dapat menghasilkan keuntungan dengan menjual hasil perkebunan baik melalui pasar domestik maupun pasar global.

2.    Permasalahan
Pemberian izin perkebunan kelapa sawit di Indonesia semakin meningkat termasuk di Kalimantan Barat. Pada daerah tersebut terjadi peningkatan begitu pesat dalam kurun waktu 2006-2014. Pada tahun 2006, luas izin perkebunan kelapa sawit seluas 407,083 hektar. Namun pada tahun 2014 perkembangan izin perkebunan kelapa sawit bahkan melonjak tajam menjadi 4.513.700,60 hektar atau 180,44 persen. Berdasarkan data Dinas  Perkebunan Provinsi Kalimantan Barat tahun 2014 menyebutkan bahwa perkembangan perizinan perusahaan perkebunan besar di Kalimantan Barat mencapai luas 4.513.700,60 hektar atau 180,44 persen. Alih fungsi konversi hutan dilakukan demi percepatan pembangunan industri minyak sawit di dalam negeri. Hutan lindung dan kawasan konservasi juga terancam akan terdeforestasi dan terdegradasi.
Hal yang paling dikritisi  adalah pembukaan lahan hutan menjadi perkebunan skala besar. Misalnya saja, target untuk luasan pembukaan perkebunan kelapa sawit yaitu 1,5 juta Ha. Kebun yang sudah ditanam dan telah dikelola mencapai 900 ribu hektar. Tetapi faktanya proses perizinan kini sudah mencapai 4,8- 4,9 juta Ha. Luas perkebunan yang masih dalam proses perizinan yang jauh lebih luas dari target itu akan kembali merusak hutan di Kalbar. Target yang 1,5 juta hektar itu sebenarnya prioritas untuk lahan kritis dan tidak produktif. Tetapi jika izin nanti melebihi target, bisa dipastikan jika yang diambil itu bukan hanya lahan kritis sehingga wilayah  yang dikelola masyarakat menjadi semakin sempit yang berdampak pada kesenjangan ekonomi yang semakin tinggi.
Keberadaan perkebunan kelapa sawit skala besar seperti sekarang ini, mengancam Kalimantan Barat sebagai satu kesatuan ekologis. Perkebunan kelapa sawit merusak keseimbangan alam dan lingkungan, seperti akar dari kelapa sawit sangat sulit untuk dibersihkan walaupun pohon sawit tersebut telah mati, namun dibutuhkan waktu bertahun-tahun agar akar dan tanah yang telah ditanami kelapa sawit dapat digunakan lagi. Selain itu tanah bekas perkebunan kelapa sawit akan menjadi gersang karena unsur-unsur hara yang ada di dalam tanah telah habis. Tidak hanya itu, pembukaan lahan perkebunan kelapa sawit kerap menimbulkan pencemaran diakibatkan asap hasil dari pembukaan lahan dengan cara pembakaran dan  pembuangan limbah, merupakan cara-cara perkebunan yang meracuni makhluk hidup dalam jangka waktu yang lama. Dampak yang paling dirasakan masyarakat saat ini yakni adanya perubahan sistem hidrologi DAS Kapuas. Pada musim kemarau umumnya terjadi kekeringan yang sangat panjang sehingga masyarakat kesulitan untuk mendapatkan air, sedangkan pada musim hujan terjadi banjir. Banjir di musim hujan dan kekeringan di musim kemarau adalah indikator utama kerusakan DAS yang sangat jelas.
Permasalahan mendasar yang mengakibatkan kelemahan tersebut antara lain; orientasi yang terlalu bertumpu pada paradigma pertumbuhan ekonomi dan menitikberatkan pada produksi primer, kebijakan alokasi sumber daya yang tidak adil, sistem pengelolaan yang tidak memenuhi kaidah kelestarian, KKN, lemahnya penegakan hukum dan pengawasan, koordinasi antar sektor yang belum berjalan. Pembangunan Kehutanan yang berkelanjutan dan berkeadilan tidak mungkin tercapai, apabila paradigma lama masih dijadikan acuan. Oleh karena itu diperlukan perubahan paradigma secara mendasar. Berdasarkan uraian di atas, maka perlu adanya kajian mengenai pengelolaan hutan secara berkelanjutan dimana dalam pengelolaan tersebut, tidak hanya memperhatikan aspek ekonomi saja, namun juga memperhatikan aspek sosial dan ekologi.
3.    Landasan Teori
Pembangunan yang sekarang sedang  marak adalah pembangunan yang hanya bersifat sementara. Dengan tuntutan globalisasi, Indonesia mengikuti perkembangan jaman tanpa melihat prospek kedepan. Perkembangan masyarakat yang serba instan dan asal jadi, budaya konsumtif telah mendarah daging pada sebagian besar masyarakat Indonesia. Sedang sebenarnya, hakikat pembangunan adalah pembangunan yang berkelanjutan yang tidak parsial, instan dan pembangunan kulit. Maka, dengan adanya konsep Sustainable Development yang kemudian disebut SD akan berusaha memberikan wacana baru mengenai pentingnya melestarikan lingkungan alam demi masa depan, generasi yang akan datang. “Pembangunan yang memenuhi kebutuhan sekarang tanpa mengkompromikan kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri.”
Pembangunan berkelanjutan adalah suatu proses pembangunan yang mengoptimalkan manfaat dari sumber daya alam, sumber daya manusia, dengan menyerasikan sumber alam dengan pembangunan. Sedangkan pelestarian SDA adalah sebuah usaha sadar yang dilakukan manusia untuk menjaga dan melindungi hasil alam agar tidak habis. Menurut Salim (1992) pembangunan berkelanjutan atau suistainable development adalah suatu proses pembangunan yang mengoptimalkan manfaat dari sumber daya alam sumber daya manusia, dengan menyerasikan sumber alam dengan manusia dalam pembangunan.
Deklarasi Universal Keberagaman Budaya (UNESCO, 2001) lebih jauh menggali konsep pembangunan berkelanjutan dengan menyebutkan bahwa “keragaman budaya penting bagi manusia sebagaimana pentingnya keragaman hayati bagi alam”. Dengan demikian “pembangunan tidak hanya dipahami sebagai pembangunan ekonomi, namun juga sebagai alat untuk mencapai kepuasan intelektual, emosional, moral, dan spiritual”. Dalam pandangan ini, keragaman “pertumbuhan ekonomi” itu sendiri bermasalah, karena sumberdaya bumi itu sendiri terbatas.
Budimanta (2005) menyatakan bahwa pembangunan berkelanjutan adalah suatu cara pandang mengenai kegiatan yang dilakukan secara sistematis dan terencana dalam kerangka peningkatan kesejahteraan, kualitas kehidupan dan lingkungan umat manusia tanpa mengurangi akses dan kesempatan kepada generasi yang akan datang untuk menikmati dan memanfaatkannya. Dalam proses pembangunan berkelanjutan terdapat proses perubahan yang terencana, yang didalamnya terdapat eksploitasi sumberdaya, arah investasi orientasi pengembangan teknologi, dan perubahan kelembagaan yang kesemuanya ini dalam keadaan yang selaras, serta meningkatkan potensi masa kini dan masa depan untuk memenuhi kebutuhan dan aspirasi masyarakat.
Pembangunan berkelanjutan dirumuskan sebagai pembangunan yang memenuhi kebutuhan masa kini tanpa mengorbankan hak pemenuhan kebutuhan generasi mendatang. Pembangunan berkelanjutan mengandung makna jaminan mutu kehidupan manusia dan tidak melampaui kemampuan ekosistem untuk mendukungnya. Dengan demikian pengertian pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan pada saat ini tanpa mengurangi kemampuan generasi yang akan datang dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka (Sudarmadji : 2008).
Tujuan akhir setiap usaha pembangunan ialah memperlakukan manusia, lakilaki, perempuan, anak-anak sebagai tujuan, untuk memperbaiki kondisi manusia dan memperbesar pilihan manusia. Salah satu yang menjadi bagian dari pembangunan berkelanjutan adalah dimensi manusia atau bisa juga disebut dengan ‘pembangunan manusia’. Ada empat komponen utama dalam paradigma pembangunan manusia, yaitu pemerataan atau kesetaraan (equity), berkelanjutan, produktivitas dan pemberdayaan. (Firdaus : 1998).


2.1 Prinsip-prinsip Pembangunan Berkelanjutan
Memang diakui bahwa konsep keberlanjutan merupakan konsep yang sederhana namun kompleks, sehingga pengertian keberlajutanpun sangat multidimensi dan multi-interpretasi. Menurut Heal dalam (Fauzi, 2004) Konsep keberlanjutan ini paling tidak mengandung dua dimensi : Pertama adalah dimensi waktu karena keberlanjutan tidak lain menyangkut apa yang akan terjadi dimasa yang akan datang. Kedua adalah dimensi interaksi antara sistem ekonomi dan sistem sumber daya alam dan lingkungan. Pezzey (1992) dalam Fauzi, 2004 melihat aspek keberlajutan dari sisi yang berbeda. Keberlanjutan dari sisi statik diartikan sebagai pemanfaatan sumber daya alam terbarukan dengan laju teknologi yang konstan, sementara keberlanjutan dari sisi dinamik diartikan sebagai pemanfaatan sumber daya alam yang tidak terbarukan dengan tingkat teknologi yang terus berubah. Karena adanya multidimensi dan multiinterpretasi ini, maka para ahli sepakat untuk sementara mengadopsi pengertian yang telah disepakati oleh komisi Brundtland yang menyatakan bahwa “pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan yang memenuhi kebutuhan generasi saat ini tanpa mengurangi kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka.”
Perman (1997) dalam Fauzi 2004 mencoba mengelaborasikan lebih lanjut konsep keberlanjutan ini dengan mengajukan lima alternatif pengertian: (1). Suatu kondisi dikatakan berkelanjutan (sustainable) jika utilitas yang diperoleh masyarakat tidak berkurang sepanjang waktu dan konsumsi tidak menurun sepanjang waktu (nondeclining consumption), (2) keberlanjutan adalah kondisi dimana sumber daya alam dikelola sedemikian rupa untuk memelihara kesempatan produksi dimasa mendatang, (3) keberlanjutan adalah kondisi dimana sumber daya alam (natural capital stock) tidak berkurang sepanjang waktu (non- declining), (4) keberlanjutan adalah kondisi dimana sumber daya alam dikelola untuk mempertahankan produksi jasa sumber daya alam, dan (5) keberlanjutan adalah adanya kondisi
2.2 Landasan Hukum Pembangunan Berkelanjutan di Indonesia
Pada tahun 1998 dibentuk Menteri Negara Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan Hidup (PPLH) yang kemudian pada tahun 2002 di ubah menjadi Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup (KLH) yang kemudian pada 2003 dirubah menjadi Menteri Negara Lingkungan Hidup (LH). Kelembagaan ini mempunyai peranan penting dalam memberi landasan lingkungan bagi pelaksanaan pembangunan di negara kita. Pada tahun 1982 telah di Undangkan Undang-Undang No. 14 Tahun 1982 (LN 1982 No. 12) tentang ketentuan-ketentuan pokok Pengelolaan Lingkungan hidup secara terpadu dengan mengamanatkan keharusan untuk mengkaitkan pelaksanaan pembangunan dengan pengelolaan lingkungan hidup melalui apa yang dinamakan “pembangunan berwawasan lingkungan”. Ketentuan tersebut selain menggunakan istilah “pembangunan berwawasan lingkungan” juga menggunakan istilah “pembangunan berkesinabungan” istilah yang disebutkan terakhir dapat juga dijadikan pedoman istilah “sustainable development” karena kata “berkesinabungan” dan “berkelanjutan “ dalam bahasa Indonesia mempunyai makna yang sama.
4.    Pembahasan
Pembangunan kehutanan sebagai salah satu bagian dari pembangunan nasional diarahkan untuk memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat dengan tetap menjaga pelestarian fungsi hutan dengan mengutamakan pelestarian sumber daya alam dan fungsi lingkungan hidup, memulihkan tata air, memperluas kesempatan berusaha dan lapangan kerja serta meningkatkan sumber pendapatan dan devisa negara untuk memacu pembangunan daerah. Masyarakat adalah pelaku utama pembangunan dan pemerintahan berkewajiban untuk mengarahkan, membimbing dan menciptakan suasana yang  menunjang, dengan kata lain keberhasilan pembangunan sangat tergantung dari tingkat partisipasi masyarakat. Salah satu ukuran keberhasilan pembangunan adalah seberapa jauh pemerintah mampu menumbuhkan, menggerakkan dan memelihara dan mengembangkan masyarakat dalam pembangunan.
Namun saat ini demi percepatan pertumbuhan ekonomi, banyak izi pemberian alih fungsi lahan hutan, salah satunya adalah alih fungsi lahan hutan menjadi perkebunan sawit. Alih fungsi lahan menjadi perkebunan sawit memang memberikan beberapa keuntungan. Komoditas tersebut memegang peran yang cukup strategis di Indonesia karena komoditas ini mempunyai prospek yang cukup cerah sebagai sumber devisa. Disamping itu minyak sawit merupakan bahan baku utama minyak goreng yang banyak dipakai diseluruh dunia, sehingga secara terus menerus mampu menjaga stabilitas harga minyak sawit. Komoditas ini mampu pula menciptakan kesempatan kerja yang luas dan meningkatkan kesejahteraan Masyarakat.  Namun kerugian akibat perubahan lahan hutan yang tak terkendali justru menimbulkan dampak yang sangat besar bagi lingkungan maupun konflik sosial.


Aspek ekologi
Kelapa sawit merupakan tumbuhan monokotil (berakar serabut) sehingga air hujan yang melimpah tidak terserap ke dalam tanah dan hanya mengalir di daratan menuju aliran sungai, air yang mengalir tersebut akan membawa zat hara dan mengendap di dasar sungai. Akibatnya, tanah akan menjadi gersang dan sungai akan semakin dangkal. Dan bila musim kemarau, kelapa sawit akan menyerap cadangan air bawah tanah dengan jumlah yang besar untuk memenuhi kebutuhannya agar bisa bertahan hidup dan berbuah. Berbeda halnya dengan tumbuhan dikotil (berakar tunggal), tumbuhan ini akan menyerap air hujan ke dalam tanah dan menyimpannya diruang-ruang bawah tanah di dekat akar tunggalnya, dan bila musim kemarau tumbuhan dikotil akan melepaskan cadangan airnya sehingga sungai dan sumur-sumur yang ada disekitarnya tidak akan kekeringan.
Aspek Sosial
Konflik sosial, termasuk sengketa hak tanah dan sumberdayanya sering disebabkan oleh ekspansi lahan perkebunan.  Ada lebih dari 500 kasus konflik sosial di sektor perkebunan kelapa sawit Indonesia, terutama soal hak atas tanah, sengketa tenaga kerja, ketidakharmonisan kemitraan perusahaan dengan komunitas, kriminalisasi penduduk desa, dan skandal politik tingkat tinggi termasuk penerbitan izin ilegal untuk konversi hutan alam untuk perkebunan kelapa sawit dan areal perkebunan di kawasan hutan yang dilindungi dan taman-taman nasional. 
Kebutuhan terhadap Pembangunan Berkelanjutan
            Pembangunan perkebunan kelapa sawit perlu disikapi secara bijak. Berbagai dampak baik ekologi maupun sosial akibat perkebunan sawit tersebut dapat membentuk pengetahuan dan pengalaman masyarakat yang akan membangkitkan kesadaran bersama bahwa mereka adalah kelompok yang termaginalisasi dari suatu proses pembangunan atau kelompok yang disingkirkan dari akses politik, sehingga menimbulkan respon dari masyarakat yang dapat dianggap mengganggu jalannya proses pembangunan.
Selain itu, karena berbagai dampak ekologis yang begitu terlihat akibat pertumbuhan perkebunan sawit yang tidak terkendali juga menyebabkan masyarakat semakin sadar akan pentingnya hutan. Untuk itu, pertumbuhan ekonomi berbasis kehutanan dirasa tepat untuk menjawab permasalahan-permasalahan ekologi saat ini sekaligus meningkatkan pertumbuhan ekonomi masyarakat.  
Pembangunan yang selama ini lebih menitikberatkan pada peningkatan ekonomi tanpa memperdulikan aspek sosial dan ekologi. Banyak pejabat daerah yang tanpa pikir panjang memberikan izin pemanfaatan hutan sebagai kawasan perkebunan kelapa sawit. Hal tersebut tentunya sangat bertentangan dengan konsep pembangunan berkelanjutan. Perkebunan sawit seharusnya hanya diberikan izin pada kawasan yang tidak produktif dan tidak mengganggu kawasan konservasi. Perlu adanya kajian mendalam mengenai rencana pengelolaan kawasan suatu daerah sehingga tingkat kerusakan akibat perkebunan sawit dapat di imbangi dengan peningkatan rehabilitasi hutan-hutan yang rusak akibat adanya illegal logging, over harvesting pada hutan alam serta pertambangan.
Dalam pembangunan berkelanjutan penduduk atau masyarakat merupakan bagian penting atau titik sentral dalam pembangunan berkelanjutan, karena peran penduduk sejatinya adalah sebagai subjek dan objek dari pembangunan berkelanjutan. Jumlah penduduk yang besar dengan pertumbuhan yang cepat, namun memiliki kualitas yang rendah, akan memperlambat tercapainya kondisi yang  ideal antara kuantitas dan kualitas penduduk dengan daya dukung alam dan daya tampung lingkungan yang semakin terbatas. Untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan di suatu negara, diperlukan komponen penduduk yang berkualitas. Karena dari penduduk berkualitas itulah memungkinkan untuk bisa mengolah dan mengelola potensi sumber daya alam dengan baik, tepat, efisien, dan maksimal, dengan tetap menjaga kelestarian lingkungan. Sehingga harapannya terjadi keseimbangan dan keserasian antara jumlah penduduk dengan kapasitas dari daya dukung alam dan daya tampung lingkungan.
Pembangunan yang berkelanjutan diawali suatu komitmen dan konsistensi dari berbagai pemangku kepentingan dalam menggunakan dan menjaga keberlanjutan sumber daya alam yang digunakan untuk keberlangsungan hidup saat ini dan untuk generasi yang akan datang. Untuk menjaga keberlangsungan jalannya pembangunan berkelanjutan, maka Pemerintah Kota Blitar menggunakan manajemen pembangunan berkelanjutan yang dijadikan sebagai pegangan untuk pelaksanaannya. Manajemen ini mengedepankan perencanaan cermat yang melihat kebutuhan saat ini dan yang akan datang, dan dilaksanakan secara efektif, efisien, konsisten sebagaimana yang telah ditetapkan, serta dilakukan evaluasi secara berkala dan insidental berdasarkan indikator sasaran dan batas waktu yang telah ditentukan.
Pembangunan berkelanjutan harus dilihat dalam perspektif jangka panjang. Hingga saat ini yang banyak mendominasi pemikiran para pengambil keputusan dalam pembangunan adalah kerangka pikir jangka pendek, yang ingin cepat mendapatkan hasil dari proses pembangunan yang dilaksanakan. Kondisi ini sering kali membuat keputusan yang tidak memperhitungkan akibat dan implikasi pada jangka panjang, seperti misalnya potensi kerusakan hutan yang telah mencapai 3,5 juta Ha/tahun, banjir yang semakin sering melanda dan dampaknya yang semakin luas.
Pemerintah dalam perumusan kebijakan pengelolaan sumber daya alam harus dioptimalkan karena sumber daya alam sangat penting peranannya terutama dalam rangka meningkatkan pendapatan negara melalui mekanisme pajak, restribusi dan bagi hasil yang jelas dan adil serta perlindungan dari bencana ekologis. Sejalan dengan otonomi daerah pendayagunaan secara bertahap wewenang pemerintah pusat kepada pemerintah daerah dalam pengelolaan sumber daya alam dimaksud untuk meningkatkan peranan masyarakat lokal dan tetap terjaganya fungsi lingkungan.

5.    Kesimpulan
Kegiatan pembangunan perkebunan kelapa sawit memang menberikan kontribusi yang besar terhadap pertumbuhan ekonomi terutama terhadap pendapatan daerah. Namun tanpa disadari, pemberian izin yang tidak memperhatikan aspek lingkungan akan menimbulkan dampak besar terutama dari segi hidrologis. Dampak hidrologis yang paling terasa di Kalimantan Barat yakni adanya indikator kerusakan DAS. Indikator tersebut berupa bencana banjir pada musim penghujan serta kekeringan pada musim kemarau. Selain dampak ekologi, timbulnya konflik sosial juga sering terjadi. Konflik sosial terjadi akibat masyarakat yang terkena dampak hidrologis akibat adanya perkebunan sawit serta masyarakat yang merasa termarginalkan akibat pembanguan perkebunan tersebut.
Pembangunan berkelanjutan diperlukan untuk mengatasi berbagai masalah yang terjadi akibat ppembangunan perkebunan kelapa sawit saat ini. Sehingga pembangunan tidak hanya menitikberatkan pada aspek ekonomi saja, tetapi diharapkan dapat memperhatikan aspek sosial ekonominya juga.
DAFTAR PUSTAKA

Budimanta, A, 2005, Memberlanjutkan Pembangunan di Perkotaan melalui Pembangunan Berkelanjutan dalam Bunga Rampai Pembangunan Kota Indonesia dalam Abad 21.
Fauzi. A. 2004. Ekonomi Sumber Daya Alam dan Lingkungan, Teori dan Aplikasi. Jakarta. Gramedia Pustaka Utama.
Firdausy Carunia Mulya. 1998. Dimensi Manusia Dalam Pembanguna Berkelanjutan. Jakarta. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.
Murniati, Nawir, Rumboko. 2008. Rehabilitasi Hutan Indonesia. CIFOR. Bogor.
Sudarmadji. 2008.Jurnal Pembangunan Berkelanjutan. Lingkungan Hidup dan Otonomi Daerah.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Contoh Perhitungan Curah hujan dan Laju Erosi

Praktikum Fisiologi Pohon (Zat Pengatur Tumbuh)

laporan praktikum kultur jaringan